Ayat di atas menerangkan bahwa hati merupakan energi/alat/sarana dan potensi yang mampu memahami ayat-ayat Allah. Hati (Kalbu), dalam ilmu jiwa merupakan materi organik (al’adhuw al madiy) yang memiliki sistem kognisi (jibazidrakiy ma’rifiy) yang berdaya emosi (al-syu’ur) Al-Gazali berpendapat bahwa, “Kalbu memiliki insting yang disebut dengan al-mir al-ilahiy (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathinah (mata bathin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan”. Hati (Kalbu), dalam ilmu jiwa merupakan materi organik (al’adhuw al madiy) yang memiliki sistem kognisi (jibazidrakiy ma’rifiy) yang berdaya emosi (al-syu’ur)[1] Ketenteraman hati yang hakiki merupakan faktor utama terbentuknya keperibadian yang sejati. Karena orang yang demikian itu akan sabar menerima segala macam bentuk cobaan. Dr. Mustafa Zahri mengatakan : “ kekuatan senjata dapat dilumpuhkan, kekayaan harta benda dapat dirampas oleh manusia, Kitab-Kitab agama, ilmu pengetahuan dapat dibasmi dan dibakar oleh manusia, tetapi keyakinan hati yang kuat dalam batin bagi orang yang percaya (beriman) terhadap Allah tidak dapat dihancurkan dengan kekuatan apapun jua.”[2]
Kata kunci : Hati, Psikologi Agama dan al-qur’an
Dasar pemikiran persoalan hati ditinjau dari ilmu Psikologi Agama ini adalah di dasari oleh sebuah pemikiran bahwa kenyataan hidup sehari-hari, banyak orang yang tersesat hidupnya, terjerumus ke lembah kemaksiatan dan kemelaratan karena tidak mampu menjaga hati. Sebaliknya banyak pula orang yang bahagia hidupnya, walaupun kehidupan rumah tangganya serba tidak berkecukupan, karena mereka mampu mengendalikan hati. Selanjutnya banyak orang yang hidupnya serba ada dan berkecukupan, namun hidupnya tidak bahagia.
Suatu kebahagiaan sangat ditentukan oleh kemampuan mengendalikan hati, karena orang yang selalu mendengarkan kata hati dalam melakukan suatu kebijakan biasanya bijaksana dalam menetapkan keputusan. “Kebahagiaan akan dapat diraih jika manusia sehat mental atau sehat akal fikirannya”[3], karena perkembangan ilmu pengetahuan, maka “psikologi yang menjadi ilmu pengetahuan kehilangan objek kajian utamanya, yaitu roh (jiwa, soul). Psikologi hanya dihubungkan dengan berbagai mekanisme, pembentukan reaksi, naluri, bukan dikaitkan dengan fenomen manusia yang paling unik dan khas, yaitu ; cinta kasih, nalar (reason), conscience (Kesadaran atau kata hati), dan nilai-nilai manusiawi manusia”[4]
Dengan demikian karena kehidupan yang lebih mengutamakan rasio (intelektual) dari pada pertimbangan kata hati, maka persoalan moral menjadi kurang diperhatikan. Pada hal persoalan moral berhubungan erat dengan kata hati yang akan membimbing seseorang kepada kesehatan mental.
Secara psikologis hati merupakan sebuah alat pertimbangan untuk menerima petunjuk Tuhan-Nya, sehingga orang yang memiliki hati mampu menyadarkan dan mejandarkan diri kepada peraturan Tuhan. Orang yang mampu menyadarkan dan menyandarkan ketentuan Tuhan-Nya, maka mereka itulah yang dikatakan sehat mental.
Alqur’an kata hati (Al Qalbu) disebutkan sebanyak 144 kali, dan kebanyakan makna dari Al Qalbu berkisar di atas makna Al Wujdan dan Al Aqlu[5]. Menurut pandangan sufi bahwa dalam perkataan tersebut, keduanya terdapat fitrah yang benar dan perasaan yang berbeda, apakah perbedaan itu merupakan unsur cinta ataupun benci. Di samping itu, Al Qalbu merupakan tempat Iman dan Hidayah, ilmu dan ma’rifat, serta tempat keinginan dan putus asa[6]
Allah berfirman (Q.S Asy Syu'araa: 89) "Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih"
Pada ayat lain Alah menjelaskan : (Q.S. Qaaf : 37). "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya."
Selanjutnya dalam ayat lain Allah menegaskan .(Q.S. At Taghabun : 11).
"Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu"
Namun demikian tidak semua hati merupakan tempat iman dan hidayah, melainkan juga hati merupakan tempat bersarangnya maksiat dan dosa, sebagaimana firman Allah. (Q.S. Al Hijr : 12) "Demikianlah, Kami memasukkan (rasa ingkar dan memperolok-olokkan itu) ke dalam hati orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir),"
Oleh karenanya Allah telah mengingatkan dengan firman-Nya: (Q.S. Az-Zumar : 22). "Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata."
Pada ayat lain Allah menerangkan; .(Q.S. Al-Munafiqun : 3)
"Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti"
Demikian hati yang dijelaskan dalam beberapa ayat di atas, para sufi berpendapat tentang hati, misalnya; Al-Gazali memberikan contoh bahwa hati itu tidak ubahnya seperti sebuah sumur, di mana air di dalamnya ibarat ilmu, dan panca indra ibarat sungai-sungai yang dapat mengisi air dari atas bumi. Hingga pengisian hati dengan ilmu pengetahuan adakalanya melalui panca indra, melalui proses telaah (membaca) dan penelitian. Namun adakalanya sungai-sungai itu ditutup lalu melakukan meditasi dan pengasingan diri serta menutup mata, yakni dengan pensucian hati, sehingga ilmu terpancar dalam hati yang bersih.
Berbeda dengan Tarmidzi, bahwa kekuatan semua anggota tubuh terletak di dalam hati; jika pikiran dan akal bersama denganhatinya. Oleh karenanya hati merupakan pusat dari semua perasaan, pengenalan dan emosi manusia kembali ke hati, untuk selanjutnya dikirim keseluruh tubuh.
[1] Abdul Majid, M.Ag dan Jusuf Mudzakir, M.Si, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 48.
[2] Dr. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, PT. Bina Ilmu,
[3] Chairul Fuad Yusuf dan Prastya Utama, Psikoloanalisa dan Agama, (Judul Aslinya Psychoanalysis And Religion, Erich Fromm), CV. Atisa Pers,
[4] Ibid
[5] ‘Abdul Karim Al’Utsman, Ad Dirasat An Nafsiyah, hal 52
[6] Amir An Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf (Studi Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, Pustaka Azzam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar