Selasa, 04 Januari 2011

KEBERSIHAN JIWA DAN TANGGUNG JAWAB

ABSTRAK

Disiplin merupakan gambaran buah/hasil dari ketulusan jiwa seseorang/golongan/sekelumpok orang dalam menekuni suatu profesi/pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Orang yang disiplin dalam pekerjaannya, berarti ia bertanggung jawab terhadap beban tugas yang diberikan.

Dalam Psikologi Agama orang yang disiplin dan bertanggung jawab terhadap tugasnya berarti ia memiliki mental yang sehat. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu beradabtasi dengan dirinya sendiri, orang lain atau lingkungannya.

Kesuksesan akan dapat diraih apabila disiplin dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas disertai dengan kebersihan jiwanya, walaupun beban tugas tersebut sangat berat. Oleh karenanya Kebersihan Jiwa dan Tanggung Jawab merupakan modal dasar untuk menumbuh kembangkan disiplin kerja.

Kata kunci :, Kebersihan jiwa, Tanggung jawab, dan Disiplin

PENDAHULUAN

Berbicara tentang kebersihan jiwa dan tanggung jawab dalam disiplin kerja, berarti berbicara tentang diri sendiri, yakni menyangkut kepuasan atau ketidakpuasan batin, dan disiplin kerja yang tidak baik, sering dipengaruhi oleh rasa tidak puas yang bersumber dari kemurkaan, dan adanya persaingan yang tidak sehat dalam lingkungan kerjanya. Karenanya rasa ketidakpuasan itu senantiasa didera keresahan, kegoncangan dan kesia-siaan pribadi, sehingga semakin melemahnya rasa solidaritas sesama teman kerja.

Apabila manusia sudah merasakan adanya kekurangan dan kelemahan pada dirinya, ia tidak akan pernah puas terhadap dirinya sendiri. Sehingga jiwa melihat akidahnya berada di suatu tempat, sementara perilakunya di tempat lain (tidak ada kesesuaian) atau apabila ia merasa bahwa dia telah jatuh dari akidah dan nilai-nilai keyakinannya, maka saat itulah ia tidak akan puas dengan dirinya.( Miqdad Yeljen : 1995 : 30-31)

Sesuai dengan pendapat di atas, maka ketidak disiplinan atau kurangnya rasa tanggungjawab kerja seseorang disebabkan oleh dua hal, yakni : Pertama, jauhnya kehidupan manusia dari nilai-nilai agama secara umum; Kedua, Tersingkirnya tarbiyah (pendidikan) akhlak dari kehidupannya.

Allah berfirman dalam al-qur’an : (Q.S. Al-Hasyr :59 : 18)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat tersebut hubungannya dengan disiplin dapat dijadikan sebagai dasar untuk bekerja, karena disiplin itu sendiri artinya takut terhadap suatu peraturan, baik sifatnya diri sendiri (individu), kelompok, adat istiadat, bangsa dan negara ataupun agama.

Disiplin terhadap peraturan diri sendiri, berarti kita harus ta’at terhadap status pribadi, cita-cita, ideologi/kepercayaan, dan etika yang dikembangkan dalam pribadi sendiri. Misalnya bila kita termasuk sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, maka kita harus menjadi pegawai yang baik dan bertanggung jawab, serta meyakini bahwa segala perbuatan akan dipertanggung jawabkan. Baik di hadapan pimpinan (dalam kehidupan dunia) atau di hadapan Allah SWT. (untuk kehidupan akhirat yang kekal). Pertanggungan jawab yang lebih berat justeru di hadapan Allah SWT, karena di hadapan manusia (pimpinan) pertanggung jawaban tersebut dapat direkayasa. Sedangkan di hadapan Allah tidak bisa direkayasa, karena yang berbicara bukan mulut, akan tetapi semua anggota tubuh yang bersaksi atas perbuatan yang dilakukan di muka bumi ini. Kemana akal, pancaindera dan umur yang diberikan Allah digunakan ? selanjutnya, apakah waktu digunakan dengan sebaik-baiknya, apakah digunakan di jalan Allah atau hanya terbuang tanpa bekas dalam kemaksiatan yang tahu hanya dirinya sendiri.

Kemudian, apakah (disiplin pekerjaan/ibadah) dikerjakan sesuai dengan peraturan, baik yang dibuat oleh dirinya sendiri, orang lain (pemerintah, adat istiadat, tradisi dan agama) ataupun peraturan yang ditetapkan Allah SWT. sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad SAW.

Hubungannya dengan Ibadah, Allah menegaskan dalam Firman-Nya : (Q.S Adza Dzariyah : 51 : 56). "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku".

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Selanjutnya pada ayat lain Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk beribadah agar menjadi orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya : (Q.S. Al-Baqarah : 2 : 21)

"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa".

Syahminan Zaini, menjelaskan bahwa para Ulama/cendikiawan Islam telah membagi ibadah dengan bermacam-macam, misalnya : Umumnya membagi kepada tiga hal, yakni : Ibadah Aqidah, Syari’ah dan Akhlak. (Syahminan Zaini : 1989, 25-26). Berbeda dengan TM. Hasbi Ash Shiddieqi. Ia membagi kepada : (1) Amalan Bathin; (2) Budi Pekerti; dan (3) Amalan Lahir yang terdiri dari : Amalan anggota lidah – Tugas hidup untuk diri sendiri – Tugas hidup untuk keluarga dan Tugas hidup untuk umum. Lain lagi dengan Saltut, ia membagi dalam lima bagian, yakni : (1) Dalam berhubungan dengan Allah; (2) Dalam berhubungan dengan sesama muslim; (3) Dalam berhubungan dengan sesama manusia; (4) Dalam berhubungan dengan alam; (5) Dalam berhubungan dengan kehidupan.

Dari semua pembagian di atas bila disederhanakan, maka ibadah itu tertuju kepada tiga hal, yakni ; (1) Ibadah secara vertikal kepada Allah ; (2) Ibadah secara horizontal kepada manusia ; dan (3) Ibadah terhadap alam lingkungan, karena manusia itu sendiri adalah khalifah dipermukaan dunia ini.

Disiplin dan tanggung jawab (hubungannya dengan pekerjaan di dunia ataupun kehidupan akhirat) dalam bahasa agama merupakan kegiatan ibadah yang wajib dikerjakan oleh umat-Nya. Dengan demikian kebersihan jiwa dan tanggung jawa dalam disiplin kerja bila dihubungkan dengan kegiatan ibadah, maka akan menumbuhkan kepuasan bathin dalam melaksanakannya. Karenanya suatu pekerjaan apapun profesinya bukanlah suatu kewajiban belaka, melainkan merupakan suatu kebutuhan yang harus dikerjakan.

KEBERSIHAN JIWA

Kebersihan jiwa yang dimaksudkan di sini adalah “Hati (Kalbu)”, Hati (Kalbu) dalam ilmu jiwa merupakan materi organik (al’adhuw al madiy) yang memiliki sistem kognisi (jibazidrakiy ma’rifiy) yang berdaya emosi (al-syu’ur) (Abdul Majid dan Jusuf Mudzakir : 2001 : 48) Al-Gazali berpendapat bahwa dalam bukunya Ihya’, “Kalbu memiliki insting yang disebut dengan al-mir al-ilahiy (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathinah (mata bathin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan” (Ibid : 48)

Rasulullah saw, bersabda : “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu” (.R. al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir )

Dalam al-Qur’an Allah berfirman : (Q.S. As-Syams : 91 : 9-10). “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Berdasarkan dalil di atas menyatakan bahwa secara psikologis kalbu (hati) memiliki daya emosi yang positif, seperti ; cinta, senang, riang, percaya, tulus ikhlas, dan sebagainya. Selain dari pada itu kalbu (hati) ada pula yang negatif, misalnya ; benci, sedih, ingkar, dst.

Memperhatikan kepada hal tersebut, maka hati telah memiliki perkembangan yang kadang-kadang baik atau buruk, oleh karenanya kalbu (hati) memerlukan perawatan, setiap saat harus dibersihkan dari kotoran-kotoran hati orang yang memilikinya.

Membersihkan hati atau kalbu itu adalah suatu kewajiban dan kekayaan seseorang yang harus dipelihara dan dijaga kebersihannya, serta merupakan keberuntungan yang tak terhitung harganya, bila kesucian atau kebersihannya selalu terjaga. Dan sangat rugilah bagi orang-orang yang mengotori kalbu atau hatinya. Adapun sifat atau hal-hal yang dapat mengotori kalbu atau hati seseorang itu adalah :

Hasad (iri hati), Haqad (dengki atau benci), Suuz-zan (sangka buruk, Kibir (sombong), Ujub (merasa sermpurna diri sendiri dari pada orang lain), Riya (memamerkan kelebihan). Suma’(cari-cari nama atau kemasyhuran) Bukhul (Kikir), Hubbul Mal (kebendaan), Tafahur (membanggakan diri), Ghadab (pemarah), Ghibah (pengupat), Namimah (bicara belakang orang), Kizib (dusta), dan Khianat (munafik). Serta banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan.

Akibat dari kotornya hati akan berpengaruh terhadap pola hidup, kerja dan kehidupan, bahkan hati yang kotor itu telah menuntun kepada perbuatan maksiat, baik secara lahir ataupun secara bathin. Maksiat lahir adalah kemaksiatan yang dilakukan oleh anggota tubuh dan melahirkan kejahatan-kejahatan yang merusak kehidupan individu ataupun masyarakat umum.

Sedangkan maksiat bathin adalah kemaksiatan yang tak dapat dilihat dengan mata atau secara nyata, melainkan secara tersembunyi dan bersarang di dalam hati manusia. Maksiat bathin dapat menjadi motor (penggerak) maksiat lahir. Kemaksiatan ini sukar disadarkan (diketahui) dan sukar pula dihilangkan.

Semakin lalai kita membersihkan hati, maka semakin tebal kotoran yang menyelimuti hati, sehingga cahaya hati terbungkus oleh kotoran-kotoran yang membatasi atau merupakan hijab (dinding) yang menghubungan manusia dengan tuhannya.

Menurut ahli tarekat, ada 4 dinding/hijab yang membatasi diri dengan Tuhan, tetapi ada 4 jalan pula yang membuka dinding/hijab itu.

Pertama, membersihkan diri dari najis dan hadas. Pada bagi pertama ini harus dibersihkan melalui istinja/bersuci, yakni dengan cara mandi dan berwudhu.

Kedua, mensucikan diri dari dosa lahir yang disebabkan oleh anggota tujuh, yakni ; (1) Mulut yang bisa berdusta ; (2) Mata bisa melihat yang haram; (3) Telinga yang mendengarkan cerita kosong; (4) Hidung dapat menxcium dan dapat menimbulkan rasa benci; (5) Tangan dapat merusak; (6) Kaki dapat berjalan ke tempat makasiat; dan (7) Kemaluan yang bersyahwat atau berzina.

Apabila ketujuh anggota tubuh itu selalu berkenalan dengan perbuatan maksiat, maka itulah pula yang menjadikan sumber hijab/dinding yang membatasi diri dengan tuhannya. Oleh karenanya anggota tubuh tersebut harus digunakan untuk ; (1) Mulut digunakan untuk mengucap dzikir, istighfar atau membaca al-qur’an, serta ilmu yang bermanfaat; (2). Mata baik digunakan untuk memandang indahnya alam sebagai nikmat yang diberikan Allah dan sekaligus sebagai bukti adanya Tuhan; (3). Telinga digunakan untuk mendengarkan nasehat-nasehat yang baik untuk menerima pengertian atau memperdalam ilmu agama; (4). Tangan digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang dapat membuat jasa-jasa baik kepada diri, orang lain dan masyarakat.; (5). Kaki digunakan untuk berjalan mencari rezeki yang halal, berjalan untuk mengerjakan ibadah atau berjalan menuju tempat yang baik-baik; (6). Hidung digunakan untuk mencium yang harum-harum sehingga menimbulkan rasa cinta; dan kemaluan digunakan untuk membuat keturunan dalam penyebaran agama Allah.

Ketiga, suci dari dosa bathin. Abubakar Aceh (ahli Sufi) menjelaskan dalam bukunya “Ilmu Tarekat”, bahwa ada 7 (tujuh) alat pembuat dosa bathin yang dinamakan tujuh latif :

1. Latifatul Qalby yang berhubungan jantung jasmani, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Di sinilah letaknya sifat-sifat kemusrikan, kekapiran dan ketahyulan dan sifat-sifat iblis. Untuk mensucikannya adalah dengan berdzikir sebanyak-banyaknya (5000 x). Rasulullah bersabda : “ Bahwasanya bagi tiap-tiap sesuatu itu ada alat untuk mensucikan dan alat untuk mensucikan hati itu ialah dzikrullah”. (al-Hadits)

2. Latifatu Roh, letaknya dua jari di bawah susu kanan, di sini terletak sifat-sifat bahimiyah (binatang jinak), yaitu sifat menuruti hawa nafsu. Untuk mwensucikannya adalah dengan berdzikir sekras-kerasnya sebanyak 1000 kali.

3. Latifatus-sirri, letaknya 2 jari di atas susu kiri. Di sinilah letaknya sifat-sifat ‘Syabiyah” (binatang buas), yakni sifat dhalim atau aniaya, pemarah, pendendam. Untuk mensucikannya adalah membaca dzikir 1000 kali.

4. Latifatul Khafi, letaknya 2 jari di atas susu kanan, dikendarai oleh limpah jasmani. Di sinilah terletak sifat-sifat pendengki, khianat, sifat syaithaniyah, sifat ini membawa kecelakaan dunia dan akhirat. Cara mensucikannya berdzikir 1000 kali.

5. Latifatul Akhfa, letaknya di tengah dada berhubungan dengan empedu. Disinilah letaknya sifat Rabbaniyah, yaitu sifat-sifat takbur/sombong, ujub/membanggakan diri dan sum’a mempamerkan diri. Untuk mensucikannya membaca dzikir 1000 kali.

6. Latifatun-nafsun-Natiqa, letaknya di antara dua kening. Di sinilah letaknya ‘nafsu ammarah’ nafsu yang selalu mendorong kepada perbuatan jahat, dan nafsu ini menjadi penghalang untuk melakukan kebajikan. Cara mensucikannya membaca dzikir 1000 kali.

7. Latifah kullu jasad, yaitu latifah yang mengendari seluruh tubuh jasmani. Dalam latifah ini terdapat sifat-sifat ‘Jahil’ dan ‘Ghaflah’ . untuk mensucikannya berdzikir 1000 kali.

Keempat, mensucikan hati Rabbaniyah; yang dimaksud dengan “Latifatur Rabbaniyah” adalah roh yang suci dan halus. Ialah yang memerintahkan dan mengatur badan serta anggota jasmani. Ini adalah merupakan induk dari latifah-latifah yang lain. Dialah yang dapat mendekati Tuhan setelah dibersihkan dari kotoran-kotoran.



Disiplin dan Tanggung Jawab


Keberadaan disiplin dan rasa janggung jawab akan dirasakan apabila seseorang menengal dirinya, mengenal diri sendiri berarti juga mengenal Allah. Disiplin dan rasa tanggung jawab akan muncul dalam diri seseorang, sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan keikhlasan yang meyakini bahwa suatu pekerjaan yang dilakukan dengan disiplin dan rasa tanggung jawab itu merupakan ibadah.

Adapun hakikat dari ibadah itu adalah;

“Ketundukkan jiwa yang timbul dari hati (jiwa) merasakan cinta akan Tuhan yang Ma’bud (disembah) dan merasakan kebesaran-Nya lantaran beri’tikad (berkeyakinan) bahwa bagi alam ini adalah kekuasaan yang akal tidak dapat mengetahui hakikatnya” (Ibid : 23)

Demikian suatu gambaran bahwa bila suatu pekerjaan dianggap sebagai suatu ibadah, maka akan mampu menundukkan hati (jiwa) serta merasakan cinta kepada Allah SWT. oleh karenanya orang yang demikian itu akan mampu menanamkan rasa disiplin tinggi dalam dirinya dan mengemban tugas dengan rasa tanggung jawab.

Orang yang baik sudah barang tentu harus disiplin dan bertanggung jawab terhadap suatu pekerjaan, dan harus memiliki kemampuan untuk merekayasa pola pikir bahwa suatu pekerjaan itu harus dilakukan pada tujuan jalan Allah, sehingga pekerjaan itu akan bernilai ibadah. Maka dengan demikian akan menyakini bahwa sesuatu pekerjaan yang bernilai ibadah akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.

Berdasarkan pola pikir di atas, maka akan muncul suatu pandangan bahwa suatu beban tugas yang diberikan itu harus dilakukan dengan disiplin dan bertanggung jawab, karena suatu pekerjaan itu pada hakikatnya adalah dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui apa yang belum dan sesudah terjadi.

KIAT-KIAT MENINGKATKAN DISIPLIN DAN TANGGUNG JAWABPola pikir tersebut, menggambarkan bahwa suatu pekerjaan akan sukses apabila pekerjaan itu dianggap sebagai suatu ibadah, sehingga dapat memotivasi ethos kerja yang tinggi, disiplin dan tanggung jawab

.

Suatu wacana terhadap kiat-kiat memantapkan kebersihan jiwa dan tanggung jawab dalam disiplin kerja, baik secara individu ataupun kelompok pada sebuah instansi, lembaga atau organisasi serta masyarakat , adalah :

1. Bersihkan jiwa (hati)

Menurut Imam Gazali (Imam Ghozali : 1982 : 40), bahwa untuk membersihkan hati (jiwa) itu, maka yang wajib dibersihkan adalah pikiran buruk dan sifat-sifat atau penyakit hati. Yakni :

a. Hasud (dengki) ; merasa benci dan iri kalau orang lain menerima kenikmatan, dan senang jika orang lain terkena musibah;

b. Riya (pamer) ; melakukan amal tidak karena Allah semata, tapi karena sesama manusia agar dipuji ;

c. “Ujub (mengagumi diri) ; menganggap bahwa dirinya sendiri itulah yang paling mulia dalam segala hal.

2. Ikhlas dan Sabar dalam pekerjaan.

Suatu pekerjaan akan sukses apabila dilaksanakan dengan ikhlas dan sabar, ikhlas di sini dapat diartikan, menyadari bahwa itulah pekerjaan terbaik yang diberikan Tuhan. Untuk memberikan gambar yang hakiki tentang ikhlas dan sabar ini At-Turmudzi mengatakan :

coba lihat dan perhatikan kondisi zamanmu itu, niscaya yang engkau lihat adalah kehidupan lahiriyah. Pada dasarnya mereka itu hina, sebab hanya memakai baju lahir, sedangkan di dalam bathinnya memakai akhlak setan. Seperti penipuan, kedengkian, hasud, gila hormat, gila pangkat, hidup glamor, takut miskin dsb.

Dalam situasi dan kondisi yang demikian itu hanyalah para sufi yang ikhlas, mereka tetap hidup dalam kehidupan kerohanian yang tinggi, bahkan mereka banyak mengorbankan harta kekayaannya diatas ukuran wajar. Sehingga mereka mampu untuk mendeteksi dan mengeksploitasi jiwa manusia. Di samping itu mereka juga memiliki sifat tabah dan sikap kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi segala bentuk kendala kehidupan.( Amir An-Najar : 2001 : 19)

3. Istiqamah yang diartikan mengikuti jalan lurus (agama Allah), teguh dan tetap pendidian sangat bertolak belakang dengan sifat munafik, yakni antara hati, ucapan dan perbuatannya berbeda atau berlawan. Seorang munafik suka berbohong (berdusta), jika ia berjanji ingkar, dan jika dipercaya akan berkhianat.

Kedudukan orang yang selalu istiqamah telah digambarkan dalam Al-Qur’an : ( Q.S. Yunus : 10 : 89) "Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdo’a, sebab itu tetaplah kamu berdo’a pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui".

4. Meningkatkan ibadah, seyogyanya semakin bertambah atau semakin berkurangnya umur, seharusnya selalu meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan ibadah. Upaya untuk meningkatkan ibadah ini, maka kita harus berusaha mencari sebab-sebab menurunnya pelaksanaan ibadah, dengan syarat-syarat, sebagai berikut :

a. meningkatkan pengertian tentang ibadah, karena ibadah itu tidak hanya dalam bidang ubudiyah saja melainkan juga meliputi mu’amalah. Artinya suatu pekerjaan apapun untuk jalan Allah tidak untuk kemaksiatan, sebenarnya dapat juga bernilai ibadah. Dengan meningkatnya pemahaman tentang ibadah, maka itulah faktor utama bagi perubahan pada diri manusia dan kesuksesan dalam kehidupannya, Allah menyatakan :

1). Allah akan meningkatkan derajad bagi orang-orang yang beriman dan berilmu yang banyak. "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al Mujadillah : 58 : 11)

2). Bahwa orang-orang yang taqwalah (tercapai tujuan ibadahnya) hanyalah orang-orang yang berilmu banyaklah yang dapat meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT.

"Orang-orang yang akan taqwa kepada Allah hanyalah orang-orang yang mempunyai ilmu yang banyak." (Q.S. Faathir : 35 : 28)

b. Menambah kesungguhan dalam melaksanakan ibadah

c. Meningkatkan diisiplin dalam beribadah

5. Tadabbur.

Tadabbur artinya “mengambil pelajaran”, maksudnya bahwa disiplin kerja akan tumbuh dan berkembang bila ada kemampuan untuk belajar dari kegagalan atau belajar kepada orang-orang yang sukses. Sebagaimana pepatah lama mengatakan “rajin pangkal pandai”. Pepatah lama tersebut memberikan pelajaran bahwa hanya orang-orang yang rajinlah yang akan pandai atau hanya orang-orang yang disiplinlah yang mampu mengwejar cita-citanya.

6. Memiliki sifat toleransi dan tolong-menolong.

Orang yang memiliki sifat toleransi dan tolong menolong yang mampu mengembangkan saling pengertian dan memahami satu sama lainnya, sehingga disiplin kerja dapat ditegakkan, karenanya orang tersebut telah memiliki niat yang tulus, lapang dada dan memiliki jiwa yang bersih. Dengan demikian rasa tanggung jawabnya sangat tinggi.

7. Motivasi dan Tujuan.

Disiplin kerja akan terlaksana apabila ada motivasi yang kuat dan tujuan yang jelas, sehingga muncul kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi lahir karena kebersihan jiwanya. Dalam hal ini akal sehat akan berfungsi dengan baik.

HUBUGAN KEBERSIHAN JIWA

DAN TANGGUNG JAWAB TERHADAP

DISIPLIN KERJA

Kebersihan jiwa adalah berfungsinya akal sehat, sehingga mampu mencerna mana yang harus dilakukan dan mana yang harus tidak dilakukan. Pada sisi lain bahwa akal sehat mampu berpikir bahwa suatu tugas atau pekerjaan itu tidak hanya sekedar kewajiban belaka, melainkan juga merupakan kebutuhan dalam memenuhi hidup dan kehidupan. Dengan demikian apapun jenis tugas, pekerjaan ataupun profesinya bila dijalankan dengan disiplin yang tinggi, maka akan menghasilkan kepuasan dalam bathinnya.

Orang yang tulus dan disiplin dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya sudah barang tentu bertanggung jawab. Tanggung jawab itu muncul karena adanya kesadaran yang diilhami oleh kebersihan jiwanya.

Banyak orang yang memiliki tugas dan pekerjaan yang layak dan mendapatkan penghasilan yang banyak, sehingga orang tersebut telah lupa daratan, karenanya banyak pula yang bangkrut sesudahnya.

Kebersihan jiwa itu identik dengan kesehatan mental. Kesehatan mental adalah “terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan diri” (Zakiah Deradjat : 1980 : 13)

Terwujudnya keharmonisan fungsi-fungsi jiwa dimaksud adalah adanya kemampuan mentyesuaikan diri dengan dirinya, orang lain dan lingkungannya, sehingga mampu bekerjasama dirinya dengan orang lain dan lingkungannya, dan mengembangkan potensi, bakat dan pembawaan hubungannya dengan pekerjaan yang ditekuninya.

Dengan demikian kebersihan jiwa telah mempengaruhi terhadap rasa tanggung jawab dalam disiplin kerja. Banyak orang yang gagal dalam pekerjaannya, karena jiwanya kotor (selalu curiga terhadap orang lain, iri hati, dengki dan hasad terhadap orang lain), sehingga melemahkan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaannya.

Ketidaktentraman hati, atau kurang sehatnya mental, sangat mempengaruhi kelakuan dan tindakan seseorang (Ibid : 22), dengan demikian kebersihan jiwa erat sekali hubungannya dengan tanggung jawab dan disiplin kerja. Artinya semakin sejuk dan nyaman lingkungan kerja, maka semakin besar kemungkinan rasa tanggung jawab seseorang, dan semakin tinggi rasa tanggung jawab seseorang terhadap pejerjaannya, maka semakin disiplin dalam pekernaannya.

Orang yang tidak disiplin dalam pekerjaannya, biasanya karana adanya gangguan jiwa, misalnya; tekanan perasaan dan pertentangan bathin. Yang dimaksud dengan tekan perasaan (Frusterasi) adalah suatu proses yang menyebabkan perasaan orang akan adanya hamabatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya, atau menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginannya. Sedangkan pertentangan bathin adalah komflik jiwa yang terjadi karena terdapat dua macam dorongan atau lebih yang berlawanan atau bertentangan satu sama lainnya, sehingga tidak mungkin dipenuhi dalam satu waktu yang sama.

Keterkaitan antara kebersihan jiwa, tanggung jawab dan disiplin kerja karena; kebersihan jiwa telah menjiwai akal sehat, dan akal sehat akan mampu memahami bahwa suatu tugas atau pekerjaan harus dikerjakan dengan rasa tanggung jawab, sehingga kebersihan jiwa dan tanggung jawab memotivasi ethos kerja yang tinggi, untuk selanjutnya ethos kerja yang tinggi melahirkan disiplin kerja.

PENUTUP

Disiplin kerja, di manapun dan dalam situasi apapun jenis, bentuk/ profesinya tidak akan terwujud bila jiwa yang melakukannya jiwa tidak bersih /hatinya kotor, karena orang tersebut biasanya licik, sehingga rasa tanggung jawab tidak akan melekat pada akal sehatnya.

Dengan demikian jiwa yang bersih akan menuntun akal yang sehat dengan sikap bertanggung jawab terhadap tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Sebaliknya jiwa yang kotor akan menuntun kepada akal yang tidak sehat dan sikapnyapun tidak bertanggung jawab.

Upaya menegakkan disiplin harus dilakukan dengan kiat-kiat, misalnya; niat yang tulus dan motivasi yang kuat, lapang dada dalam menerima tugas dan tujuan yang jelas, belajar dari pengalaman, toleransi dan tolong menolong serta adanya saling pengertian.




Tidak ada komentar: